Nama Bajawa
Bapak
H. Nainawa, seorang tokoh dan pemuka adat yang kini berusia 88 tahun menuturkan
bahwa nama Bajawa sebenarnya berasal dari “ Bhajawa ” yaitu nama satu dari
antara tujuh kampung di sisi barat Kota Bajawa. Tujuh kampung yang disebut “
Nua Limazua ” tersebut adalah Bhajawa, Bongiso, Bokua, Boseka, Pigasina, Boripo
dan Wakomenge. Nua Limazua tersebut merupakan suatu persekutuan “ ulu eko ”
yang dikenal dengan “ Ulu Atagae, Eko Tiwunitu ”.
Nua
Bhajawa adalah kampung terbesar dari antara tujuh kampung tersebut dan
merupakan tempat tinggal Djawatay sebagai Zelfbertuurder atau raja pertama dan
Peamole sebagai raja yang kedua. Mungkin karena itulah nama Bhajawa lebih
dikenal dari yang lainnya dan digunakan oleh Belanda sebagai nama pusat
pemerintahan Onder Afdelling Ngada. Bhajawa kemudian berubah menjadi Bajawa
karena penyesuaian pengucapan terutama bagi orang Belanda ketika itu yang tidak
bisa berbahasa daerah dengan benar.
Dari
aspek etimologi, kata “ Bhajawa ” terdiri dari “ bha ” yang berarti piring dan
“ jawa ” yang berarti perdamaian. Jawa bisa berarti tanah Jawa. Sehingga “
Bhajawa ” bisa berarti piring perdamaian, bisa juga berarti piring dari Jawa,
sama seperti “ Pigasina ” yang berarti pinggan dari Cina.
Dataran
di sebelah timur dari tujuh kampung tersebut, yang kemudian menjadi pusat kota
Bajawa, pada mulanya masih merupakan kebun ladang dengan banyak nama seperti “
Mala ”, “ Ngoraruma ”, “ Surizia ”, “ Umamoni ”, “ Padhawoli ”, “ Ngedukelu ”,
dan lain-lain. Kawasan gereja dan pastoran Paroki MBC bernama Surizia, kawasan
rumah jabatan Bupati, Mapolres dan Kantor Daerah lama bernama Ngoraruma,
kawasan tangsi Polisi dengan nama lain lagi, dan seterusnya.
Awal Berdirinya Kota Bajawa Sampai Kemerdekaan
Indonesia(1908-1945)
Tidak
mudah menentukan tanggal, bulan dan tahun lahirnya Kota Bajawa, karena sulit
mendapatkan rujukan tertulis. Walaupun demikian, penuturan Bapak H. Nainawa dan
beberapa sumber lain dapat sedikit menyingkap kisah awal Kota Bajawa.
Kota
Bajawa dirintis oleh penjajah Belanda. Pada tahun 1907 di bawah pimpinan
Kapiten Christoffel, setelah menguasai Larantuka dan Sikka, Belanda mengadakan
aksi militer untuk menguasai wilayah Ende, Ngada dan Manggarai. Pada 10 Agustus
1907, pasukan Christoffel tiba di Ende dan hanya dalam waktu sekitar 2 minggu
berhasil mengalahkan Rapo Oja dari Woloare dan Marilonga dari Watunggere serta
menguasai wilayah Ende. Pada 27 Agustus 1907, pasukan Christoffel mulai
melakukan agresi militer ke wilayah Ngada. Sesudah pertempuran di Rowa, Sara,
Mangulewa dan Rakalaba, pada 12 September 1907 Bajawa menyerah. Di Bajawa
pasukan Belanda menempati lokasi di pinggir kali Waewoki (sekitar rumah potong
hewan sekarang) karena dekat mata air Waemude sebagai sumber air minum. Dalam
waktu 3 bulan pasukan Christoffel berhasil menguasai seluruh wilayah Ngada dan
selanjutnya pada 10 Desember 1907 seluruh wilayah Manggarai dikuasainya.
Setelah pemberontakan Marilonga dapat dipadamkan pada tahun 1909 maka pada
tahun 1910 seluruh wilayah Flores takluk kepada pemerintah Kolonial Belanda.
Belanda
mulai mengatur pemerintahan yang pada mulanya bersifat militer di bawah pejabat
militer yang disebut “ Gezaghebber ”, kemudian bersifat sipil di bawah pejabat
sipil yang disebut “ Controleur ”. Kapiten Spruijt yang menggantikan
Christoffel diangkat sebagai Gezaghebber Ende, van Suchtelen menjadi
Gezaghebber Lio, dan Couvreur menjadi Gezaghebber mulai dari wilayah
Nangapanda, Ngada, sampai Manggarai.
Agar
kegiatan pemerintahan penjajah lebih tertib, keamanan lebih terkontrol dan
pemungutan pajak serta kerja rodi yang sebelumnya tidak dikenal oleh masyarakat
Ngada, dapat terlaksana dengan baik, Belanda membentuk suatu sistem
pemerintahan baru yang sangat berbeda dengan sistem tradisional. Sebelumnya,
masyarakat Ngada hidup berkelompok dalam “ ulu eko ”, “ nua ” dan “ woe ” yang
bersifat otonom dan tidak ada struktur yang lebih tinggi di atasnya. Demi
efektivitas penjajahan, dibentuklah struktur baru di atasnya yaitu “
Zelfbesturende Landschap ” atau “Landschap Bestuur” yang dipimpin oleh seorang
“ Zelfbestuurder ” atau raja yang diangkat oleh Belanda dari antara pemuka
masyarakat setempat yang paling berpengaruh.
Pada
tahun 1912, di seluruh Flores terdapat 27 Landschap Bestuur dan di wilayah
Ngada terdapat 6 Landschap Bestuur yaitu Landschap Bestuur Ngada di bawah
Djawatay, Nage di bawah Roga Ngole, Keo di bawah Moewa Tunga, Riung di bawah
Petor Sila alias Poewa Mimak, Tadho di bawah Nagoti, dan Toring di bawah Djogo.
Pada
1 April 1915, menurut Indisch Staatsblad Nomor 743, Afdeling Flores dibentuk
dipimpin seorang Asistant Residen berkedudukan di Ende, membawahi 7 Onder
Afdeling, termasuk Onder Afdeling Ngada. Onder Afdeling Ngada dengan ibukotanya
Bajawa terdiri dari 4 Landschap Bestuur yaitu Ngada dipimpin Djawatay, Nage
dipimpin Roga Ngole, Keo dipimpin Moewa Tunga dan Riung dipimpin Petor Sila.
Sedangkan Tadho dan Toring yang sebelumnya berdiri sendiri, bergabung dengan
Riung. Karena pada tahun 1916-1917 terjadi perang Watuapi dipimpin Nipado, maka
pengangkatan menjadi Bestuurder ( raja ) melalui penandatanganan Korte
Verklaring ( perjanjian pendek ) sebagai pernyataan takluk kepada kerajaan
Belanda baru dapat dilakukan pada 28 November 1917. Sebelum penandatanganan
Korte Verklaring tersebut, Bestuurder (raja) diangkat dengan Keputusan Pemerintah
( Government Besluit ).
Pada
tahun 1931/1932 struktur pemerintahan penjajahan Belanda di wilayah Ngada
adalah Onder Afdeling Ngada berpusat di Bajawa dipimpin oleh Controleur
(seorang Belanda), mencakupi 3 Landschap Bestuur yaitu Ngada dengan ibukota Bajawa,
Nagekeo di Boawae dan Riung di Riung. Landschap Bestuur Keo dan sebagian
komunitas masyarakat adat Toto bergabung dengan Nage, menjadi Landschap Bestuur
Nagekeo berpusat di Boawae.
Pada
tahun 1938 struktur pemerintahan penjajahan Belanda di Flores dan di wilayah
Ngada mengalami penyempurnaan disesuaikan dengan Inlandsche Gemmente Ordonantie
Buitengewesten ( IGOB ) yang dimuat dalam Ind. Stb. 1938 Nomor 490 jo Ind. Stb.
1938 Nomor 681. Struktur baru tersebut adalah Onder Afdeling Ngada dipimpin
oleh Controleur ( orang Belanda ) mencakup 3 Landschap Bestuur yaitu Ngada,
Nagekeo dan Riung masing-masing dipimpin raja. Di bawah Landschap Bestuur
adalah Gemmente / Haminte dipimpin oleh Kepala Haminte / Kepala Mere atau
Gemmente Hoofd yang membawahi kampung-kampung yang dipimpin oleh kepala
kampung.
Sebenarnya
pada mulanya Belanda memilih Aimere sebagai ibukota Onder Afdelling Ngada
karena mudah dijangkau melalui laut, sedangkan Bajawa dengan udaranya yang
sejuk dan ketinggian 1.100 meter dari permukaan laut disiapkan dan memang
sangat cocok untuk tempat peristirahatan. Di Bajawa dibangun 3 buah
pesanggrahan ( penginapan ) yaitu pada bekas Kantor Kecamatan Ngadabawa,
Mapolres Ngada dan Kantor Banwas Ngada sekarang. Tanah tempat bangunan
pesanggrahan tersebut ditunjuk oleh Djawatay yang ketika itu diangkat menjadi
Bestuurder Landschap Ngada. Bajawa kemudian ditetapkan sebagai ibukota Onder
Afdeling Ngada mungkin dengan pertimbangan bahwa Bajawa lebih di tengah untuk
bisa menjangkau wilayah Riung dan Nagekeo, sedangkan Aimere terlalu di pinggir
barat. Ketika terbentuk Onder Afdeling Ngada pada 1 April 1915 dan Bajawa
ditetapkan sebagai ibukotanya, maka pesanggrahan pada bekas Kantor Kecamatan
Ngadabawa dijadikan kantor, pada Mapolres Ngada sekarang menjadi tempat tinggal
Gezaaghebber / Controleur dan pada Kantor Banwas sekarang tetap menjadi
pesanggrahan. Kantor Controleur kemudian dibangun dari kayu pada sisi timur
pesanggrahan ( pada lokasi Kantor Dinas Pendapatan sekarang ). Sangat
disesalkan bangunan bersejarah tersebut, yang kemudian juga digunakan sebagai
gedung DPRD Kabupaten Ngada telah diruntuhkan dan kini berganti dengan bangunan
Kantor Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Ngada. Sedangkan Kantor Bestuurder (
raja ) dibangun di Kampung Bajawa.
Ketika
Belanda mulai menjajah wilayah Ngada secara fisik, mereka menemukan kehidupan
masyarakat masih sangat sederhana bahkan primitif serta sering bergolak karena
terjadinya pertikaian antara suku. Untuk itu, Belanda berupaya mendirikan
sekolah rakyat, selain untuk menjalankan “ politik etis “ pemerintah Belanda,
juga agar masyarakat dapat baca-tulis, tidak primitif, dan juga memperhalus
budi dan perilaku sehingga mengurangi pertikaian antar suku serta mengurangi
pola pikir yang tidak rasional ( takhiul atau percaya sia-sia ).
Pada
tahun 1908 Gezaaghebber Couvreur menyurati Misionaris Jesuit di Larantuka untuk
mengirimkan guru ke Flores bagian barat, termasuk ke Bajawa, namun belum
dikabulkan. Pada tahun 1911 Gezaaghebber Koremans dan Controleur Hens menyurati
lagi Misionaris Jesuit di Larantuka dengan maksud yang sama. Pada tahun 1912
Misionaris Jesuit di Larantuka melalui Panitia Persekolahan Flores ( School
Vereniging Flores ) yang baru dibentuk, mengirimkan seorang guru bernama
Johanes Patipeilohy dan pada tahun yang sama membuka sekolah rakyat yang
pertama untuk Onder Afdeling Ngada dengan nama Sekolah Rakyat Katolik Bajawa.
Sekolah pertama ini menggunakan gedung yang sekarang ini menjadi Kantor PWRI di
Jalan Gajah Mada. Pada tahun 1915 datang lagi dari Larantuka seorang guru
bernama Markus Fernandez.
Kedua
guru tersebut sekaligus menjadi Misionaris Awam Katolik pertama untuk Bajawa.
Tercatat pada 19 Oktober 1915, Mgr. Petrus Noyen, SVD, dalam kunjungan
pertamanya ke Bajawa, mempermandikan 28 orang anak sekolah menjadi orang
Katolik pertama di Bajawa hasil didikan kedua guru tersebut. Mgr. Petrus Noyen,
SVD menginap di pesanggrahan / tempat kediaman Controleur. Pada 28 April 1920,
Mgr. Petrus Noyen, SVD bersama Pater J. de Lange, SVD dan Pater J. Ettel, SVD
kembali mengunjungi Bajawa melalui Aimere dengan kapal KPM. Pada hari Minggu 9
Mei 1920 sebelum Pentekosta ada perayaan Komuni Pertama dan Krisma yang
didahului dengan permandian 30 anak. Pater Ettel mencatat peristiwa itu sebagai
berikut : “ Dari dekat dan jauh semua anak sekolah berdatangan bersama
guru-guru mereka. Bajawa penuh dengan kuda. Upacara berlangsung dengan
gemilang, belum pernah orang menyaksikan peristiwa semacam itu. Putera sulung
Hamilton ( Gezaaghebber Onder Afdeling Ngada ) termasuk anak-anak yang menerima
Komuni Pertama, ayah dan puteranya sama-sama menerima Sakramen Penguatan
(Krisma), suatu hal yang memberi kesan yang sangat mendalam. Di halaman
Gezaaghebber diselenggarakan suatu perjamuan pesta. Juga semua kepala desa /
kampung diundang.”
Karena
perkembangan umat Katolik sangat pesat, maka pada 11 Oktober 1921 berdirilah
Paroki Mater Boni Consilii Bajawa, dengan Pastor Paroki pertama Pater Gerardus
Schorlemer, SVD. Paroki yang baru ini belum memiliki gedung gereja, sehingga
peribadatan dilakukan di gedung SRK Bajawa. Pada tahun 1922 sebuah gereja kecil
di bangun pada lokasi gedung Patronat MBC yang lama. Pada 19 Juni 1928 Paroki
MBC Bajawa menerima surat resmi dari kantor Van Inland Zelfbestuur yang
ditandatangani oleh Raja Peamole yang menyerahkan sebidang tanah untuk
membangun gedung gereja, pastoran dan kebutuhan lain bagi umat Katolik Paroki
MBC Bajawa. Selanjutnya pada Oktober 1928, dimulailah pembangunan gedung gereja
oleh seluruh umat dipimpin oleh Bruder Fransiskus, SVD. Bangunan gereja bergaya
Gotik tersebut rampung dan diresmikan dalam upacara pemberkatan meriah oleh
Mgr. Arnold Vestraelen, SVD pada 30 Mei 1930. Sedangkan pastoran MBC baru mulai
dibangun pada 14 April 1937 dipimpin oleh Bruder Coleman, SVD.
Ketika
itu masih sering terjadi pembunuhan akibat pertikaian antar suku. Karenanya,
untuk menampung para hukuman, pemerintah membangun rumah tahanan atau penjara
atau karpus yang dalam bahasa setempat menyebutnya “bui” atau “baru dheke”.
Pada mulanya rumah tahanan dibangun darurat berdinding seng pada lokasi yang
kemudian dibangun pasar (sekarang menjadi kantor Dinas Nakertrans). Sekitar
tahun 1918 rumah tahanan berpindah lokasi ke depan tangsi Polisi dan dibangun
permanen. Gedung tersebut sampai sekarang masih terjaga.
Untuk
menjaga keamanan wilayah, di Bajawa ditempatkan sejumlah tentara. Untuk itu,
dibangun tangsi tentara Belanda yang selanjutnya sekitar tahun 1939 beralih
menjadi tangsi Polisi sampai sekarang. Sedangkan Mapolres yang ada sekarang
adalah bekas pesanggrahan yang kemudian menjadi tempat kediaman Gezaaghebber.
Sebuah
rumah sakit dibangun dalam bentuk bangunan kayu. Bangunan ini kemudian pernah
menjadi Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Ngada dan sekarang telah
diruntuhkan dan dibangun rumah dinas. Lokasi rumah sakit kemudian berpindah ke
arah timur pada tempat Kantor Bappeda Ngada di Jalan Gajah Mada sekarang.
Kawasan
perdagangan terletak pada sisi barat kota. Pada bekas bangunan darurat rumah
tahanan dibangun pasar Bajawa, yang ketika pasar berpindah ke lokasi yang baru
sekarang, bangunan pasar lama tersebut setelah direnovasi, digunakan
berturut-turut sebagai kantor Dinas P dan K, Dinas PU, Kantor Departemen P dan
K dan terakhir ditempati oleh Dinas Nakertrans. Kompleks pertokoan berada pada
sepanjang Jalan Peamole sekarang.
Untuk
kebutuhan pegawai, pemerintah Belanda membangun sejumlah rumah pegawai yang
sekarang berada di Jalan Imam Bonjol, Jalan Gajah Mada, dan jalan di belakang
Kantor Dinas Perkebunan menuju ke arah pasar Bajawa sekarang. Sedangkan rumah
tinggal Controleur yang dibangun sekitar tahun 1928-1930, hampir bersamaan
waktunya dengan pembangunan gedung Gereja Paroki MBC Bajawa, kini menjadi rumah
jabatan Bupati Ngada.
Untuk
memenuhi kebutuhan air minum, diambil air dari sumber mata air Waereke dan
dibangun pula bak penampungan yang kini masih berdiri di depan TKK Bhayangkari
Bajawa.
Untuk
memenuhi kebutuhan akan pekuburan, sekitar tahun 1930, dibuka pekuburan Katolik
pada lokasinya sekarang ini.
Perkembangan
kota Bajawa yang bergerak ke arah utara dan timur, mengakibatkan “ Nua Limazua
” yang sebelumnya menjadi pusat pemukiman berada di pinggir kota. Di samping
itu, sering terjadinya kebakaran yang menghanguskan hampir semua rumah adat,
terutama di kampung Bhajawa, Bokua dan Boseka, menyebabkan mereka mulai berpindah
ke lokasi yang baru mengikuti arah perkembangan kota Bajawa. Sekitar tahun
30-an kampung Bokua dan Boseka berpindah ke arah timur pada lokasi sekitar
Kantor Kelurahan Tanalodu sekarang dan sesudahnya berpindah lagi ke arah
selatan kaki bukit Pipipodo, pada lokasi kampung Bokua dan Boseka sekarang.
Kampung Bongiso berpindah ke arah utara bergabung dengan Wakomenge yang turun
dari puncak bukit Wolowakomenge ke tempatnya sekarang. Kampung Pigasina
berpindah ke arah timur berdampingan dengan kampung Boripo sekarang. Sedangkan
sebagian dari warga kampung Bajawa berpindah ke arah timur membentuk kampung
Bajawa B, berlokasi di sekitar Kantor Kelurahan Tanalodu sekarang dan kampung
Bajawa C, berlokasi di kawasan Rumah Tahanan Bajawa sekarang.
Dalam
struktur pemerintahan ketika itu, kawasan kota Bajawa termasuk dalam wilayah
Haminte Ngadabawa dengan kepala haminte atau kepala mere yang pertama Waghe
Mawo yang kemudian diganti oleh Nono Ene. Wilayah Haminte Ngadabawa meliputi
kawasan kota Bajawa dan kampung sekitarnya yaitu Bhajawa, Bokua, Boseka,
Bongiso, Boripo, Pigasina, Wakomenge, Wolowio, Beiposo, Likowali, Warusoba,
Watujaji, Bowejo, Bosiko, Bejo, Bobou, Fui, Seso dan Boba. Setelah kemerdekaan,
Nono Ene digantikan oleh Thomas Siu sebagai Kepala Mere Ngadabawa melalui
pemilihan langsung. Menjelang pembentukan Daerah Tingkat II Ngada, Thomas Siu
diganti oleh Paulus Maku Djawa.
Dari Kemerdekaan Indonesia Sampai Terbentuknya Kabupaten
Ngada (1945-1958)
Sampai
kemerdekaan tahun 1945, kawasan kota Bajawa hanya terdiri dari kompleks gereja
dan pastoran Paroki MBC, lapangan, rumah jabatan Controleur, pesanggrahan,
kantor Controleur, Sekolah Rakyat Bajawa, rumah sakit lama, pasar lama,
kompleks pertokoan lama, rumah penjara, tangsi Polisi dan sejumlah rumah dinas
pegawai. Pemukiman penduduk berada di luar kawasan kota pada kampung-kampung
sebagaimana digambarkan di atas.
Perkembangan
kawasan kota Bajawa setelah kemerdekaan tahun 1945 sampai tahun 1950 berjalan
sangat lambat. Keadaan Negara Indonesia yang berada dalam masa perang
kemerdekaan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan kota Bajawa. Hampir tidak
ada perkembangan. Setelah pada tahun 1950 Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan dan suasana perang berakhir, kota Bajawa mulai sedikit bertumbuh.
Pada
5 Desember 1953, para Suster Karmel Tak Berkasut membuka biara di Bajawa.
Mereka langsung menempati pintu masuk kota Bajawa. Kehadiran para Suster Karmel
Tak Berkasut dengan Klausura Agung di Bajawa, dengan doa dan keteladanan
mereka, membawa nuansa yang khas bagi kota Bajawa dan perkembangan Gereja
Katolik di Bajawa dan sekitarnya.
Pada
tahun 1954, SRK Bajawa II ( sekarang SDK Kisanata ) didirikan. Bersamaan dengan
itu, SRK Bajawa I ( sekarang SDK Tanalodu ) yang dibangun pada tahun 1912
berpindah lokasi ke tempat sekarang. Kedua sekolah tersebut akhirnya berdiri
berdampingan, SRK Bajawa I untuk anak laki-laki dan SRK Bajawa II untuk anak
perempuan.
Pada
bulan Januari 1955, Yayasan Vedapura yang berdiri di Ende membuka Kantor Cabang
Vedapura di Bajawa. Yayasan ini menangani persekolahan Katolik untuk seluruh
wilayah Ngada, Nagekeo dan Riung, dan menempati kantornya sampai sekarang di
Jalan Sugiopranoto Bajawa. Selain Yayasan Vedapura, berdiri pula Yayasan
Sanjaya yang mendirikan SMPK Sanjaya Bajawa pada 1 Agustus 1955, sebagai SMP
yang pertama untuk kota Bajawa dan menempati lokasi pada SMPN I Bajawa
sekarang.
Pada
4 Maret 1957, para Suster FMM memulai karya mereka di bidang pendidikan,
kesehatan dan karya sosial lainnya di Bajawa. Mereka membangun biara di luar
kawasan kota bagian utara, pada lokasi yang mereka tempati sekarang di Jalan
Yos Sudarso.
Luas
kawasan pusat kota Bajawa mengalami sedikit perkembangan dengan kehadiran biara
Karmel, SMPK Sanjaya, Susteran FMM dan SRK Bajawa II. Pada saat ditetapkan
menjadi ibukota Daerah Tingkat II Ngada, kawasan pusat kota Bajawa adalah utara
dengan biara FMM, selatan dengan biara Karmel, timur dengan SMP Sanjaya dan
pekuburan Katolik, barat dengan kali Waewoki, yang kini kita kenal sebagai “
down town ” atau kota lama.
Mengenai
terpilihnya kota Bajawa menjadi ibukota Daerah Tingkat II Ngada, H. Nainawa
menuturkan bahwa pada mulanya Bajawa bersaing ketat dengan Boawae sebagai calon
ibukota Daerah Tingkat II Ngada yang akan dibentuk. Dalam suatu pertemuan pada
awal tahun 1958 di rumah jabatan Bupati sekarang yang dipimpin oleh Don J. D.
da Silva yang ketika itu sebagai pejabat dari Provinsi Sunda Kecil, Frans
Dapangole dan Emanuel Lena sebagai utusan dari Swapraja Nagekeo mengusulkan
Boawae sebagai ibukota karena lebih berada di tengah. Sedangkan utusan dari
Swapraja Ngada, A. J. Siwemole dan H. Nainawa serta Jan Jos Botha sebagai Ketua
Partai Katolik Ngada mengusulkan Bajawa sebagai ibukota dengan pertimbangan
sejarah yaitu bahwa Bajawa pernah menjadi ibukota Onder Afdeling Ngada dan sudah
tersedia rumah jabatan serta kantor-kantor peninggalan Onder Afdeling Ngada.
Bajawa
kemudian ditetapkan menjadi ibukota Daerah Tingkat II Ngada dengan
Undang-undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II
dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur, tanggal 12 Juli 1958, dan peresmiannya dilaksanakan pada
tanggal 20 Desember 1958.
Tahun 1950
Pada masa pemerintahan Negara Indonesia Timur, pulau Bali,
Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba serta Timor dan kepulauannya telah merupakan
"daerah" (menurut pengertian dalam UUDS 1950), yaitu Daerah Bali,
Daerah Lombok, Daerah Sumbawa, Daerah Flores, Daerah Sumba dan
Daerah Timor dan kepulauannya. Kemudian dibentuk
Propinsi
Administratip Sunda Kecil yang meliputi Daerah-Daerah tersebut (PP 21/1950).
Propinsi Sunda Kecil terdiri dari Sunda Kecil Barat (meliputi
ex keresidenan Bali dan Lombok) dan Sunda Kecil Timur (meliputi wilayah
ex Keresidenan Timor dan pulau-pulau sekitarnya).
Tahun 1954
Nama
"Sunda Kecil" diubah menjadi
Nusa Tenggara (UU Drt 9/1954)
sehingga 'Sunda Kecil Barat' menjadi "Nusa Tenggara Barat"
dan 'Sunda Kecil Timur' menjadi "Nusa Tenggara Timur".
Di dalam lingkungan Propinsi Administratip Nusa Tenggara, berbagai
Daerah tersebut berjalan sebagai Daerah-daerah yang berhak mengatur
rumah tangganya sendiri berdasarkan peraturan yang berlaku baginya
("Daerah-Statuut" jo. UU NIT 44/1950).
Tahun 1957
Dengan berlakunya UU 1/1957 mulai dilakukan upaya untuk membentuk
daerah-daerah otonom sesuai dengan amanat UUDS 1950.
Upaya ini diawali oleh Pemerintah dengan membentuk Panitia Pembagian Daerah
(Keppres 202/1956) yang melaporkan hasil peninjauannya mengenai
daerah Nusa Tenggara. Ini diikuti pula dengan kunjungan langsung oleh
Menteri Dalam Negeri ke daerah tersebut untuk mendengar secara langsung
aspirasi rakyat di Nusa Tenggara.
Tahun 1958
Berdasarkan laporan dari Panitia dan Menteri tersebut kemudian keluar
UU 64/1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah tingkat I Bali,
Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Pembentukan daerah-daerah tingkat I ini dilakukan dengan memperhatikan
otonomi yang secara historis sudah ada di "daerah-daerah" di Nusa Tenggara.
Daerah tingkat I yang dibentuk adalah:
1. Daerah tingkat I Bali meliputi wilayah "Daerah Bali".
2. Daerah tingkat I Nusa Tenggara Barat meliputi wilayah:
- a. "Daerah Lombok"
- b. "Daerah Sumbawa"
3. Daerah tingkat I Nusa Tenggara Timur meliputi wilayah:
- a. "Daerah Flores"
- b. "Daerah Sumba"
- c. "Daerah Timor" dan kepulauannya;
Selanjutnya pada tahun 1958 itu juga dibentuk daerah-daerah tingkat II
yang merupakan bagian dari daerah-daerah tingkat I tersebut (UU 69/1958).
"Daerah-daerah" tersebut di atas dibubarkan dan diubah statusnya menjadi
Daerah tingkat II. "Daerah-daerah" itu sebelumnya merupakan
daerah-daerah swapraja yang saat itu termasuk di dalam wilayah
"Daerah-daerah" tersebut.
"Daerah Flores" yang dulu dibentuk dengan
Peraturan Pembentukan Negara Indonesia Timur (Stb 1945-143) terdiri dari:
1. Wilayah Daerah Swapraja Manggarai.
2.
Wilayah Ngada, meliputi
Daerah Swapraja:
Ngada, Nagekeo, dan
Riung.
3. Wilayah Daerah Swapraja Sikka.
4. Wilayah Ende, meliputi Daerah Swapraja: Ende dan Lio.
5. Wilayah Flores Timur, meliputi Daerah Swapraja:
Larantuka dan Adonara.
Dengan
UU 69/1958 berbagai wilayah daerah swapraja di pulau Flores ini diubah statusnya menjadi
daerah tingkat II (kabupaten) dalam wilayah daerah tingkat I (propinsi)
Nusa Tenggara Timur sebagai berikut:
Daerah Tk II
| Pusat
|
1. Manggarai
2. Ngada
3. Sikka
4. Ende
5. Flores Timur
|
Ruteng
Bajawa
Maumere
Ende
Larantuka |
Tahun 1992
Karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dan
volume kegiatan pemerintahan dan pembangunan di Daerah tingkat II
di Nusa Tenggara Timur, dilakukan pemekaran wilayah berupa
penambahan kecamatan baru (PP 29/1992).
Untuk Kabupaten Ngada, dilakukan pemekaran terhadap Kecamatan Bajawa
(dipecah menjadi dua), yaitu dengan membentuk
Kecamatan Ngada Bawa, yang wilayahnya meliputi:
1. Kelurahan Bajawa
2. Kelurahan Jawameze
3. Kelurahan Kisanata
4. Kelurahan Tanalodu
5. Kelurahan Trikora
6. Kelurahan Ngedukelu
7. Kelurahan Lebijaga
8. Kelurahan Faobata
9. Kelurahan Susu
Wilayah-wilayah ini semula merupakan bagian dari wilayah kecamatan Bajawa.
Pusat pemerintahan kecamatan Ngada Bawa berada di Kelurahan Bajawa.
Tahun 1998
Mengingat keterbatasan geografis kota Bajawa, pemerintah memutuskan
untuk memindahkan ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Ngada
dari kota Bajawa (kecamatan Ngadabawa) ke Mbay
(kecamatan Aesesa) (lihat:
PP 65/1998).
Namun karena beberapa faktor teknis,
pemindahan ini belum dapat berjalan sepenuhnya sesuai yang direncanakan,
sehingga ibukota Kabupaten Ngada masih
de facto tetap
berada di kota Bajawa.
Tahun 2006
Proses pemindahan ibukota Kabupaten Ngada yang berkedudukan di Mbay
belum dapat dilaksanakan karena keterbatasan dana dan, selain itu, karena ada
rencana pemekaran Kabupaten Ngada yaitu pembentukan Kabupaten Nagekeo,
maka dengan
PP 35/2006 ibukota Kabupaten Ngada
secara
yuridis dikembalikan lagi ke kota Bajawa.
Tahun 2007
Sebagai akibat dari pemekaran Kabupaten Ngada dengan pembentukan kabupaten baru,
yaitu Kabupaten Nagekeo (
UU 2/2007),
maka wilayah Kabupaten Ngada otomatis dikurangi wilayah Kabupaten Nagekeo
(kecamatan Aesesa, Nangaroro, Boawae, Mauponggo, Wolowae, Keo Tengah dan Aesesa Selatan).